Hidup pada dasarnya adalah menemani dan ditemani sampai pada akhir kisahnya kematian menghampiri. tidak peduli dalam gelap atau terang, dalam gelak tawa atau sedu sedan, ia selalu setia terhadap berbagai perubahan dan berusaha menggiring kita pada jalan yang terang.
»» read more
Terlalu banyak airmata terurai dari kelopak mata yang berasal dari kehilangan, tidak cukup bosankah bahwa kita mengatasnamakan kesedihan adalah karena hati yang patah? atau bathin yang lelah mencinta dan dicintai? Tidak cukup adil jika kita memasrahkan harapan yang tidak sesuai dengan keinginan itu pada Sang waktu karena waktu tidak dapat berbuat banyak ia hanya mengerti semua harus dilalui tanpa ada tawaran untuk menghentikannya bahkan untuk cepat-cepat menyuruhnya berlalu.
Jawaban dari semua luka yang ada adalah ketidak sanggupan mereka untuk menemani lagi…
“Jadi benar kabar itu sya’??” aku terdiam sejenak, Asya mengangguk dengan berat
“Nih kuberikan alamatku yang baru di Yogya, kapan-kapan kamu bisa mengirimku surat atau menelepon sekedar tanyakan kabar!” Asya memberikan secarik kertas padaku. Aku hanya tersenyum kecut menyaksikan perpisahan.
“Satu lagi ini hadiah perpisahanku untukmu la’ lumayan untuk mempercantik rambutmu yang lebat…Hiii…hii…” ejeknya Asya kerap sekali mengatakan rambut ikalku seperti pohon lebat katanya. Senyumku mengembang aku menyikut pundaknya. Aku menitikan air mata ketika ia melambaikan tangan tanda perpisahan.
“Jadi benar kabar itu sya’??” aku terdiam sejenak, Asya mengangguk dengan berat
“Nih kuberikan alamatku yang baru di Yogya, kapan-kapan kamu bisa mengirimku surat atau menelepon sekedar tanyakan kabar!” Asya memberikan secarik kertas padaku. Aku hanya tersenyum kecut menyaksikan perpisahan.
“Satu lagi ini hadiah perpisahanku untukmu la’ lumayan untuk mempercantik rambutmu yang lebat…Hiii…hii…” ejeknya Asya kerap sekali mengatakan rambut ikalku seperti pohon lebat katanya. Senyumku mengembang aku menyikut pundaknya. Aku menitikan air mata ketika ia melambaikan tangan tanda perpisahan.
Moment terberat yang pernah kurasakan adalah kehilangan sosok Asya, sahabat terdekatku, ketika sekolah di sekolah dasar. Dulu kupikir ini adalah peristiwa tersedihku sepanjang hidup. Namun kusalah besar ternyata itu hanya pikiran bodohku semasa kecil. Padahal itu sudah sembilan tahun yang lalu tapi begitu membekas dalam ingatanku.
Kututup kembali kotak yang berwarna keemasan itu, setelah kujenguk kembali benda-benda yang mempunyai history itu satu persatu. Tidak banyak berbeda dengan anak lain kutumbuh sebagaimana mestinya. Aku adalah seorang gadis yang begitu mengagungkan persahabatan, parasku tidak cukup cantik untuk digambarkan, juga tidak cukup buruk untuk dibayangkan. Namun jika ada orang yang bertanya apa yang kupunya jawabannya adalah segudang teman.
Jelas bagaimana tidak mereka senang mendekatiku, aku ini modis, cantik, Up to date, komunikatif, popular, pintar bernyanyi, senang mentraktir dan hampir tidak pernah memakai parfum yang sama ke sekolah. Namun sayang itu bukan alasan yang tepat bagiku untuk mencari sosok teman. Sejauh apa mereka menilaiku tentang hal positif yang ada pada diriku ku tak dapat jelaskan karena bukan itu point pentingnya.
Jelas bagaimana tidak mereka senang mendekatiku, aku ini modis, cantik, Up to date, komunikatif, popular, pintar bernyanyi, senang mentraktir dan hampir tidak pernah memakai parfum yang sama ke sekolah. Namun sayang itu bukan alasan yang tepat bagiku untuk mencari sosok teman. Sejauh apa mereka menilaiku tentang hal positif yang ada pada diriku ku tak dapat jelaskan karena bukan itu point pentingnya.
Kuhanya berfikir selalu berusaha membantu saat mereka butuhkan, selebihnya hanya bersikaf wajar dan bersahabat. Walaupun terkadang aku kerap bersikap sok kenal sok dekat, tapi sejauh ini sikap itu banyak berguna bagi hidupku. Walau bagaimanapun keadaannya aku tetap insan Tuhan yang terdapat banyak kekurangan dan kecacatan.
Delapan tahun yang lalu ketikaku bersekolah di tingkat menengah sebuah awal dari perjalananku dalam mencari jati diri, saat itu usiaku yang mulai tidak dianggap anak kecil lagi, bimbingan orang tua yang mulai melonggar, lingkungan sekolah yang berbeda semua kudapatkan dalam peralihan ini.
“kita akan selalu bersama dalam keadaan apapun” ikrar tujuh orang gadis itu dibelakang kelas seusai pulang sekolah. Ya gadis-gadis belia yang berbeda sikap dan pendirian itu mengucapkannya sungguh-sungguh. Kukenal mereka dengan baik, solidaritas mereka yang tinggi, keingin tahuan mereka yang besar, dan rasa cinta monyet mereka yang menggebu-gebu.
Tahun pertama aku memang belum sepenuhnya mengenal mereka ku masih menjadi sosok anak tomboy yang bergaul dengan siapa saja. Entah kumencari ketidak lengkapan dalam diriku sehingga ku memilih laki-laki adalah sosok yang tepat untuk dijadikan teman sehingga sebagian besar perasaan yang ada ku merasa nyaman berada dalam lingkungan mereka.
Kesportifan mereka dalam menilai berbagai hal itu yang membuatku betah berlam-lama berteman dengan mereka. Jika ada sesuatu yang dinilai tidak bagus mereka ungkapkan dengan jelas tanpa berpendapat lain dibelakang, ketidak sulitan mereka dalam hal berbahasa sehingga mereka tidak membahas penting bahwa kata-kata itu bisa membuat mereka terluka.
Begitu banyak yang kudapatkan bersama mereka, kesetia kawanan yang mereka taruh teratas dalam persahabatan, kujadi faham betul pendiskriminasian itu tidak penting dalam berteman, Dan belajar bersikap simple dalam menghadapi kesulitan. walaupun resikonya bahasa mereka turut menyumbangkan pengaruh dalam hidupku.
Semula memang benar kesetia kawanan kita yang sangat besar kita bawa dalam berbagai hal sampai hal yang paling buruk, yang merubah segalanya. Sebagai hamba Tuhan dengan berjuta-juta umat yang lain tetap sama, tidak dapat berbuat apa-apa selain dari rencana hanya Tuhan yang Maha Kuasa yang berkehendak. Kita tidak dapat memenuhi janji kita. Perpecahan itu mulai terasa menyatukan dua kepala saja kearah yang sama saja begitu sulit apalagi tujuh kepala dengan masing-masing sikap.
Begitu banyak yang kudapatkan bersama mereka, kesetia kawanan yang mereka taruh teratas dalam persahabatan, kujadi faham betul pendiskriminasian itu tidak penting dalam berteman, Dan belajar bersikap simple dalam menghadapi kesulitan. walaupun resikonya bahasa mereka turut menyumbangkan pengaruh dalam hidupku.
Semula memang benar kesetia kawanan kita yang sangat besar kita bawa dalam berbagai hal sampai hal yang paling buruk, yang merubah segalanya. Sebagai hamba Tuhan dengan berjuta-juta umat yang lain tetap sama, tidak dapat berbuat apa-apa selain dari rencana hanya Tuhan yang Maha Kuasa yang berkehendak. Kita tidak dapat memenuhi janji kita. Perpecahan itu mulai terasa menyatukan dua kepala saja kearah yang sama saja begitu sulit apalagi tujuh kepala dengan masing-masing sikap.
Selalu ada tumbuh dalam diri manusia perasaan yang tidak bersalah saat masalah melanda dan itu menjadi hal yang normal dan alami, pembelaan diri terhadap diri sendiri.
Ya hingga detik hatiku sakit ia tidak muncul dengan sendirinya, ia tidak muncul dengan gelak tawanya, bahkan ia tidak muncul dengan rasa sakitnya. Aku duduk berfikir banyak sambil memeluk lutut di pinggir tempat tidur menahan kesendiriaan yang teramat. Kata-katanya yang menjelaskan ia ingin di dekatku setiap saat dimanapun selalu berbagi lumat sudah. Ku menghapal tanggal berapa hari ini jika Tuhan memperkenankan kuhidup aku ingin memberikan kejutan kecil satu minggu lagi tepat ketika umurnya bertambah satu tahun.
Kugerakan aktif ibu jariku untuk mengingatkan keberadaanku.
Seingatku senyum seperti itu kudapat saat pertama ku mengenalnya, penuh kebasa-basian dan rasa tulus yang kuragukan. Biarlah luka ini kusimpan hangat dibalik tubuhku, sehingga tidak seorangpun tahu betapa kumerindukannya dalam keadaan canda maupun getir. Kuhampir lupa dulu kita pernah merajut kenangan manis bersama. Berteriak diantara mereka yang melolong panjang di tengah musim panas. Bahkan di musim dingin kumerasa hangat jika berada didekatmu.
Ya hingga detik hatiku sakit ia tidak muncul dengan sendirinya, ia tidak muncul dengan gelak tawanya, bahkan ia tidak muncul dengan rasa sakitnya. Aku duduk berfikir banyak sambil memeluk lutut di pinggir tempat tidur menahan kesendiriaan yang teramat. Kata-katanya yang menjelaskan ia ingin di dekatku setiap saat dimanapun selalu berbagi lumat sudah. Ku menghapal tanggal berapa hari ini jika Tuhan memperkenankan kuhidup aku ingin memberikan kejutan kecil satu minggu lagi tepat ketika umurnya bertambah satu tahun.
Kugerakan aktif ibu jariku untuk mengingatkan keberadaanku.
Seingatku senyum seperti itu kudapat saat pertama ku mengenalnya, penuh kebasa-basian dan rasa tulus yang kuragukan. Biarlah luka ini kusimpan hangat dibalik tubuhku, sehingga tidak seorangpun tahu betapa kumerindukannya dalam keadaan canda maupun getir. Kuhampir lupa dulu kita pernah merajut kenangan manis bersama. Berteriak diantara mereka yang melolong panjang di tengah musim panas. Bahkan di musim dingin kumerasa hangat jika berada didekatmu.
Lupakanlah ego yang ada sahabat karena masing-masing dari kita pernah sama-sama telanjang memperlihatkan pribadi diri kita yang utuh.






